Jigsaw pertama
kali diterapkan oleh Profesor Aronson. Dalam penelitian yang Aronson lakukan
bersama mahasiswanya, timbul beberapa masalah di kelas Jigsaw akan tetapi dia
memberikan solusi/cara mengatasinya, berikut diantaranya:
Masalah
siswa yang dominan
Guru akan
mendapatkan keuntungan ketika menunjuk salah satu siswa untuk menjadi pemimpin
diskusi untuk setiap sesi, secara bergantian. Tugas pemimpin adalah bersikap
adil dan mencoba untuk membagi peran/tugas secara merata. Siswa akan cepat
menyadari bahwa kelompok jigsaw akan berjalan lebih efektif jika setiap siswa
diperbolehkan untuk menyajikan materi sebelum siswa lain memberikan pertanyaan
dan komentar. Dengan demikian, menahan diri untuk kepentingan kelompok akan
mengurangi masalah dominasi.
Masalah
siswa yang lambat
Guru harus
memastikan bahwa siswa dengan kemampuan belajar yang lambat, tidak bertindak
inferior/takut/malu ketika memberikan laporan kepada kelompok jigsaw. Jika ini
terjadi, pengalaman jigsaw bisa menjadi bumerang (situasi yang membuat rekan
setim murka). Untuk mengatasi masalah ini, teknik jigsaw bergantung pada
kelompok "ahli". Sebelum mereka menyajikan laporan untuk kelompok
jigsaw, setiap siswa masuk ke dalam kelompok ahli yang terdiri dari siswa lain
yang telah menyiapkan laporan pada topik yang sama. Dalam kelompok ahli, siswa
memiliki kesempatan untuk membahas laporan mereka dan mengubahnya berdasarkan
saran dari anggota lain dari kelompok ahli mereka. Sistem ini bekerja sangat
baik. Pada tahap awal, guru harus dapat memantau kelompok ahli dengan
hati-hati, hanya untuk memastikan bahwa setiap siswa berhasil membuat laporan
yang akurat untuk kelompok jigsawnya. Kebanyakan guru menemukan bahwa setelah
kelompok ahli menguasainya, pengamatan per individu dari dekat tidak
diperlukan.
Masalah
siswa yang pintar menjadi bosan
Kebosanan dapat
menjadi masalah di setiap kelas, terlepas dari teknik belajar yang digunakan.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa kebosanan akan berkurang dalam kelas jigsaw
daripada di kelas tradisional. Berdasarkan laporan, Anak-anak di kelas jigsaw
lebih menyukai sekolah, dan hal ini berlaku untuk siswa-siswa pintar serta
siswa yang lebih lambat. Jika siswa pintar didorong untuk mengembangkan pola
pikir "guru" (mereka berperan sebagai guru), maka pengalaman belajar
dapat berubah dari tugas yang membosankan menjadi tantangan yang menarik. Tidak
hanya sebagai tantangan yang menghasilkan manfaat psikologis, tetapi belajar
secara menyeluruh.
Masalah
siswa yang terbiasa bersaing/berkompetisi
Jigsaw memiliki
efek kuat jika diperkenalkan di di tahun-tahun awal mereka belajar, diterapkan
lebih dari satu jam setiap hari di dalam kelas untuk mempertahankan manfaat
pembelajaran kooperatif. Butuh perjuangan untuk memperkenalkan pembelajaran
jigsaw untuk siswa yang tidak pernah mengalami pembelajaran kooperatif.
Kebiasaan lama siswa tidak mudah berubah. Tapi mereka dapat diubah, dan tidak
pernah ada kata terlambat untuk memulai. Pengalaman telah menunjukkan bahwa meskipun
umumnya berlangsung sedikit lebih lama, kebanyakan siswa yang berpartisipasi
dalam jigsaw untuk pertama kalinya menunjukkan kemampuan yang luar biasa dan
mendapatkan keuntungan dari metode pembelajaran kooperatif.
Kesimpulan
Beberapa guru
mungkin merasa bahwa mereka telah mencoba pendekatan belajar kooperatif karena
mereka beberapa kali telah menempatkan siswa dalam kelompok kecil, mengajar
mereka untuk bekerja sama. Namun pembelajaran kooperatif memerlukan lebih dari
sekedar anak-anak duduk memutari meja dan mengajarkan mereka untuk berbagi,
bekerja sama, dan bersikap baik satu sama lain. Situasi yang tidak terstruktur
dan tidak terkendali, tidak akan membuat jigsaw dan strategi stuktur kooperatif
lainnya berjalan dengan baik.
Dari penelitian
yang Aronson lakukan, semoga kita mendapatkan wawasan baru mengenai Jigsaw dan
mendapatkan cara/solusi agar permasalahan yang timbul di kelas Jigsaw dapat
kita hadapi dengan baik dan kreatif.
Jigsaw terbukti
dapat mengembangkan kompetensi - kompetensi kemampuan peserta didik yang
meliputi kemampuan bersikap (afektif) , berpikir (kognitif) dan bertindak
(psikomotor) yang kelak akan digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Ketika saya menerapkan Jigsaw dimana setiap kelompok
ahli, saya beri tugas masing - masing bertanggung jawab terhadap satu indikator
soal per Kompetensi dasar dalam SKL UN kemudian mereka harus menularkan
pengetahuan mereka kepada teman mereka yang ada di kelompok asal, ternyata
model pembelajaran ini memungkinkan setiap peserta didik menumbuhkan kemampuan
bersikap, berpikir dan bertindak seperti berlatih bertutur kata santun dan
logis, berlatih mendengarkan dengan penuh perhatian, menahan emosi dan
mengontrol diri, belajar lebih bersabar dalam memberikan pengertian kepada
anggota kelompok yang lain, belajar bekerja sama, belajar bertanggungjawab,
belajar mempresentasikan hasil belajar dengan penuh percaya diri, belajar
berkomitmen terhadap kesepakatan kelompok dan lain sebagainya. Intinya mereka
berusaha berkomunikasi dan berinteraksi dengan menggunakan semua potensi
afektif, kognitif dan psikomotoriknya. Pada model pembelajaran ini, peran guru
di dalam kelas adalah mengamati, membantu peserta didik yang mengalami
kesulitan. Khusus untuk kelas yang kurang termotivasi untuk belajar, sebagai
guru saya mencoba menyediakan fasilitas buku atau referensi yang berkaitan
dengan materi karena kebanyakan dari mereka tidak membawa buku pelajaran.
Setelah saya baca modul tentang JIgsaw, saya baru tahu jika guru harus
menyiapkan modul untuk masing -masing tugas yang akan saya berikan. Selama ini
saya meminta peserta didik untuk browsing internet dan membuat semacam kliping
tentang materi yang harus mereka kuasai. Dan selalu mendapatkan kendala ketika
mereka tidak menyiapkan materi, jigsaw tidak berjalan dengan semestinya.
Sebagai guru saya harus jeli dan peka dalam mengamati tiap-tiap kelompok baik
itu kelompok ahli maupun kelompok asal untuk memberikan motivasi dan mendorong
peserta didik apalagi untuk peserta didik yang pasif agar mau mencoba
mengerjakan soal dan membaca dari referensi yang ada atau memeriksa tingkat
pemahaman peserta didik dan memberikan penguatan kepada peserta didik .
Walaupun ternyata masih ada peserta didik yang pasif, tetapi paling tidak model
pembelajaran kooperatif lebih menggairahkan peserta didik dan menghidupkan
kelas. Salah satu hal lain yang dapat memotivasi peserta didik untuk ikut aktif
dalam jigsaw adalah Penilaian. Ketika saya melakukan penilaian per individu,
peserta didik kurang termotivasi, tetapi ketika penilaian individu menentukan
penilaian kelompok, dan ada penghargaan untuk kelompok terbaik, mereka lebih
termotivasi dan bersemangat. Permasalahan yang saya temui di awal saya
menerapkan jigsaw, yaitu terlalu bising ketika harus mengatur letak duduk
ternyata tidak saya temukan di pertemuan berikutnya karena mereka sudah paham
harus bagaimana mengatur bangku dan meja ketika berada di kelompok ahli ataupun
kelompok asal. Pokoke jigsaw sangat mengasyikkan tidak hanya untuk peserta
didik tetapi juga bagi guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar